About

Selamat Datang

Sabtu, 05 Januari 2013

Hadist Ditinjau dari Segi Kuantitas

Para ulama' berbeda pendapat tentang pembagian Hadits ditinjau dari sudut kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini. Diantara mereka ada yang mengelompokkannya menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Mutawatir, Hadits Masyhur dan Hadits Ahad, dan ada pula yang membaginya menjadi dua bagian yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.

Ulama' golongan pertama, yang menjadikan Hadits Masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh sebagian ulama' ushul, diantaranya adalah Abu Bakar al-Jashshash (305-307 H). Sedangkan golongan ulama' kedua, yang menjadikan Hadits Masyhur sebagai bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh kebanyakan ulama' ushul dan ulama' kalam. Mereka membagi Hadits menjadi dua bagian, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Berdasarkan pembagian ini, maka Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib merupakan bagian dari Hadits Ahad. Berangkat dari hal tersebut, guna memahami Hadits secara mudah dan benar, maka dalam pembahasan makalah ini penulis mengikuti pendapat yang kedua.

Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti "mutatabbi'" yaitu yang (datang) berturut-turut dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan pengertian Hadits Mutawatir secara terminologi adalah : 

فالحديث المتواتر هو الحديث الذى رواه جمع يمتنع تواطؤهم على الكذب
عن جمع مثلهم من أول السند إلى منتهاه 

Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad.

Berdasarkan definisi tersebut, ada empat hal yang harus terpenuhi pada sesuatu Hadits yang dikategorikan Mutawatir, yaitu : Pertama, Hadits itu harus diriwayatkan oleh banyak orang. Kedua, Hadits itu diterima dari banyak orang pula. Ketiga, ukuran banyak di sini jumlahnya relatif, dengan ukuran berdasarkan sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan kesepakatan untuk berdusta, dan keempat, Hadits itu diperoleh melalui pengamatan panca indera, bukan atas dasar penafsiran mereka .

Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Dengan memperhatikan ta'rif di atas, maka suatu Hadits baru bisa dikatakan Mutawatir bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca indera. Artinya bahwa berita yang disampaikan oleh para perawi harus berdasarkan hasil pengamatan panca indera. Dengan kata lain berita yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya, penciumannya atau sentuhannya.
Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap thabaqahnya. Jumlah sanad Mutawatir antara satu thabaqah (tingkatan) dengan thabaqah lainnya harus seimbang. Misalnya, jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah berikutnya juga masing-masing harus 10, atau 9, atau 11 orang. Dengan demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabi'in dan selanjutnya hanya diterima oleh empat tabi' at-tabi'in, tidak digolongkan Hadits Mutawatir, sebab jumlah sanadnya tidak seimbang antara thabaqah pertama dengan thabaqah-thabaqah berikutnya.
Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka untuk bersepakat bohong (berdusta). Dalam hal ini para ulama' berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta :

Abu at-Thayyib menentukan sekurang-kurangnnya 4 orang. Karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terdakwa.
Ash-habu as-Syafi'i menentukan 5 orang, karena mengqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi
Sebagian ulama' menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Al-Anfal : 65 tentang sugesti Allah kepada orang mukmin yang tahan uji, yang berjumlah 20 orang saja dapat mengalahkan 200 orang . 

إن يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين (الأنفال : 65)

Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh (al-Anfal : 65)

Ulama' yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :

يا أيها النبي حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنين (الأنفال : 64)

Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).

Dan ulama' yang lain berpendapat bahwa jumlah tersebut sekurang-kurangnya 70 orang . Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :

واختار موسى قومه سبعين رجلا لميقاتنا

Sedangkan Hadits Mutawatir terbagi kepada dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma'nawi . Adapun yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir Lafdzi dan Ma'nawi adalah :

المتواتر اللفظي هو ما تواتر لفظه ومعناه 

Hadits Mutawatir Lafdzi adalah Hadits yang Mutawatir lafadz dan maknanya
Contoh dari Hadits Mutawatir Lafdzi ini yaitu :

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (البخارى)
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat di neraka. (HR. Bukhori)

Menurut Abu Bakar al-Bazzar, Hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama' mengatakan bahwa Hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafadz dan makna yang sama. Hadits tersebut terdapat pada 10 kitab Hadits ; al-Bukhori, Muslim, al-Darimi, Abu Dawuf, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Thayalisi, Abu Hanifah, al-Tabrhani, al-Hikam. 

المتواتر المعنوي هو ماتواتر معناه دون لفطه 

Hadits Mutawatir Ma'nawi adalah Hadits yang Mutawatir maknanya bukan lafadznya
Contoh dari Hadits Mutawatir Ma'nawi tersebut adalah : 

ما رفع ص.م يده حتى رؤي بياض ابطيه فى شيئ من دعائه إلا فى الإستسفاء
(متفق عليه)

Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdo'a selain dalam shalat istisqa dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya

Hadits-hadits yang semakna dengan Hadits tersebut banyak sekali (kalau dikumpulkan ada 100 Hadits), antara lain :

كان يرفع يده حدو منكبيه 

Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau

Hadits Ahad
Secara etimologi, kata "ahad" merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu. Maka Khobar Ahad atau Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah :

الحد يث الاحد هوالحديث الذى لم يبلغ رواته مبلغ الحد يث المتوتر سواء كان الراوى واحد او اثنين اوثلاثة ااو اربعة اوخمسة الى غير ذ لك من العداد التى لا تشعر بان الحديث د خل فى خبر المتوتر.

Artinya : “Hadis ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis mutawatir”.

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut

Hadits Ahad adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits Mutawatir
Atau dengan kata lain, Hadits Ahad adalah suatu Hadits yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita Hadits Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa Hadits tersebut masuk ke dalam Hadits Mutawatir . Dan Hadits Ahad itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Masyhur, Hadits 'Aziz dan Hadits Gharib. 

Hadits Masyhur
Adapun yang dimaksud dengan Hadits Masyhur adalah : 

الحد يث المشهور او الحد يث المشتفيض هو الحد يث الذى رواه الثلا ثة فاكثر لم يصل درجة التوتر.

Hadits Masyhur adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih – dalam tiap thabaqah – serta belum mencapai derajat Mutawatir.

Ditinjau dari segi kualitasnya, Hadits Masyhur ada yang Shahih, ada yang Hasan dan ada yang Dho'if . Hadits Masyhur yang Shahih artinya Hadits Masyhur yang memenuhi syarat-syarat keshahihannya, Hadits Masyhur yang Hasan artinya Hadits Masyhur yang kualitas perawinya di bawah kualitas perawi Hadits Masyhur yang Shahih, sedangkan Hadits Masyhur yang Dho'if artinya Hadits Masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau kurang salah satu syaratnya dari syarat Hadits Shahih.

Menurut ulama' fiqhi, Hadits Masyhur itu adalah muradhif dengan Hadits Musthafid, sedangkan ulama' yang lain membedakannya. Suatu Hadits dikatakan musthafid bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai thabaqah terakhir. Sedang Hadits Masyhur lebih umum daripada Hadits Musthafid, yakni jumlah rawi-rawi dalam tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena itu, dalam Hadits Masyhur bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama adalah sahabat, thabaqah kedua thabi'i, thabaqah ketiga tabi'it tabi'in dan thabaqah keempat adalah orang-orang setelah tabi'it tabi'in, terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali .

Adapun contoh dari Hadits Masyhur tersebut adalah :

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى (متفق عليه)

Hanyasanya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia niatkan (Muttafaqun Alaihi)

Hadits tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri, pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh al-Qamah sendiri, pada thabaqah ketiga diriwayatkan oleh orang banyak, antara lain : Abd al-Wahhab, Malik, Hammad dan Sufyan. 

Hadits tersebut biasa disebut Hadits Masyhur, atau disebut Hadits Gharib pada awalnya dan Masyhur pada akhirnya .

Istilah Masyhur yang diterapkan pada suatu Hadits, kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat Hadits menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu Hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu Hadits yang mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai. Dari sisi ini, maka Hadits Masyhur terbagi kepada : 

Masyhur di kalangan para muhadditsin dan lainnya (golongan ulama' ahli ilmu dan orang umum)
Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli Hadits saja, atau ahli Fiqih saja, atau ahli Tasawuf saja, atau ahli Nahwu saja dan lain sebagainya.
Masyhur di kalangan orang-orang umum saja.

Hadits 'Aziz
Ulama' Hadits memberikan ta'rif Hadits 'Aziz adalah :

الحد يث العزيز هو الحد يث الذى راه اثنان ولو كان في طبقة واحدة ثم رواه بعد ذالك جما عة
Artinya: “Hadis ‘Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua orang rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.”

Dari definisi tersebut, kiranyanya dapat disimpulkan bahwa suatu Hadits dikatakan 'Aziz bukan saja yang meriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat, yakni sejak dari thabaqat pertama sampai thabaqat terakhir, tetapi sewaktu kedua thabaqat didapati dua orang perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai Hadits 'Aziz. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Ibnu Hibban mengatakan bahwa Hadits 'Aziz yang hanya diriwayatkan dari dan kepada dua orang perawi pada setiap thabaqat tidak mungkin terjadi. Secara teori memang ada kemungkinan, tetapi sulit untuk dibuktikan . 

Dari pemahaman seperti ini, bisa saja terjadi suatu Hadits yang pada mulanya tergolong sebagai Hadits 'Aziz, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tetapi berubah menjadi Hadits Masyhur, karena perawi pada thabaqat lainnya berjumlah banyak. 

Dalam Hadits 'Aziz terdapat Hadits 'Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan ada pula yang Dha'if . Hadits 'Aziz yang Shahih, Hasan dan Dha'if tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Hadits Shahih, Hasan dan Dha'if.

Contoh 1 : Hadits 'Aziz pada thabaqah pertama

قال رسول الله صلي الله عليه و سلَم : نحن الا خرون فى الد نيا اسا بقون يوم القيامة (عن حذ يفة وأبو هريرة)

Artinya: “Rasulullah SAW. Bersabda, “ Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu dihari kiamat.” (HR. Hudzaifah dan Abu Hurairah).

Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) pertama yakni Hudzaifah Ibn al-Yaman dan Abu Hurairah. Hadits tersebut pada thabaqah kedua sudah menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, al-'Araj, Abu Shalih, Humam dan Abd al-Rahman. 

Contoh 2 : Hadits 'Aziz pada thabaqah kedua

لا يؤمن احدكم حتى اكون احب إليه من نفسه ووالده وولده والناس اجمعين
(متفق عليه)

Tidak sempurna iman salah seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya dari pada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya (Muttafaqun 'Alihi)

Hadits tersebut diterima oleh sahabat Anas Ibnu Malik (thabaqah pertama), kemudian diterima oleh Qatadah dan Abd Aziz (thabaqah kedua).

Dari Qatadah diterima oleh Husein al-Mu'allim dan Syu'bah, sedang dari Abd al-Aziz diriwayatkan oleh Abd al-Warits dam Ismail Ibnu Ulaiyah (thabaqah III). Pada thabaqah IV, Hadits itu diterima masing-masing oleh Yahya Ibn Ja'far dan juga Yahya Ibnu Sa'id dari Syu'bah, oleh Zubair Ibnu Harab dari Ismail, oleh Syaiban Ibnu Abi Syaibah dari Abd al-Warits.

Hadits Gharib
Adapun pengertian Hadits Gharib adalah :

الغريب هو ما إنفرد بروايته راو بحيث لم يروه غيره او إنفرد بزيادة فى متنه او إسناده

Hadits Gharib adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi karena tidak ada orang lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal penambahan terhadap matan atau sanadnya.
Hadis Gharib menurut bahasa adalah Hadist yang terpisah atau yang menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut :

الحد يث الغريب هو الحد يث الَذي انفرد بروا يته شحص واحد فى اي مضع وقع التفر د من السند.

Artinya: “Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun sanad ‘’

Contoh hadis gharib:

عن عمر ابن الخطاب ضىالله عنه قال: سمعت سول الله صلى الله عليه و سلم يقول: انما ا لاعمال با النيات و انما لكل امرئ ما نوى
(رواه البخارى و مسلم و غير هما )

Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkan.”(HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

Adapun maksud dari penyendirian rawi yaitu penyendirian rawi dalam meriwayatkan Hadits itu, dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan si rawi, artinya sifat atau keadaan si rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan Hadits tersebut.

Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi seperti tertera di atas, maka Hadits Gharib ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Gharib Mutlaq dan Gharib Nisbi.

Gharib Mutlaq
Dikatakan Gharib Mutlaq, artinya penyendirian itu terjadi berkaitan dengan keadaan jumlah personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan Hadits tersebut kecuali dirinya sendiri.
Contoh :

الإيمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة من الإيمان (متفق علعه)

Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang, malu itu salah satu cabang dari iman (Muttafaqun 'Alaihi)
Hadits tersebut diterima oleh Abu Hurairah dan Abu Hurairah (sahabat) hanya diterima oleh Abu Shalih (tabi'in) dari Abu Shalih hanya diterima oleh Abdullah Ibn Dinar (tabi'u al-tabi'in) yang darinya juga hanya diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Bilal, dan dari Sulaiman diterima oleh Abu Amir. Baru setelah dari Abu Amir Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ubaidillah Ibn Sa'id dan Abdun Ibn Humaid yang dari keduanya, kemudian diterima oleh Muslim.

Mengenai Gharib Mutlaq ini, para ulama' berbeda pendapat, apakah penyendirian pada thabaqah sahabat juga termasuk ke dalam kategori Hadits Gharib atau tidak. Dengan kata lain, apakah kajian tentang keghariban Hadits itu juga termasuk pada thabaqah sahabat atau tidak. Menurut sebagian ulama', keghariban sahabat juga termasuk, sehingga apabila suatu Hadits diterima dari Rasulullah hanya oleh seorang sahabat (misalnya oleh Abu Hurairah sendiri atau oleh 'Aisyah sendiri), Hadits tersebut juga disebut Gharib, meskipun pada thabaqah-thabaqah berikutnya diterima oleh beberpa orang.

Menurut sebagian ulama' lainnya berpendapat bahwa, penyendirian sahabat tidak termasuk ke dalam Hadits Gharib. Keghariban Hadits menurut mereka hanya diukur pada thabaqah tabi'in (misalnya pada Ibn Syihab az-Zuhri) dan thabaqah-thabaqah berikutnya. Dengan demikian, suatu Hadits baru bisa dikatagorikan ke dalam Hadits Gharib apabila terjadi penyendirian pada thabaqah tabi'in atau thabaqah-thabaqah berikutnya.

Hadits Gharib Nisbi
Disebut Hadits Gharib Nisbi, arti katanya Gharib adalah yang relatif. Ini maksudnya, penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya, melainkan mengenai sifat atau keadaan tertentu seorang rawi :

Penyendirian tentang sifat keadilan dan kedhabitan dan ketsiqahan rawi. Contoh :

كان رسول الله ص.م يقراء فى الأضحى والفطر بق والقران المجيد واقترب الساعة وانشق القمر (اخرجه مسلم)
Konon Rasulullah SAW pada hari raya Qurban dan hari raya Idul Fitri membaca surat Qaaf dan surat al-Qamar (Akhrajahu Muslim)

Penyendirian tentang kota atau tempat tinggal tertentu, yakni Hadits yang hanya diriwayatkan oleh para rawi dari kota atau daerah tertentu saja, misalnya Basrah, Kufah atau Madinah saja. Contoh :

امرنا رسول الله ص.م ان نقراء بفاتحة الكتاب وما تيسر منه (رواه ابو داوو)

Rasulullah memerintahkan kepada kita agar membaca al-Fatihah dan surat mudah dari al-Qur'an (HR. Abu Dawud)

Hadits ini diterima oleh Abu Dawud dari Abu Walid al-Thayalisi dari Hamam dan Qatadah dari Abu Nasharah dan Sa'id yang kesemuanya berasal dari Bashrah.

Penyendirian tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu. Contoh :
أن النبى ص.م اَوْلمَ َعلى صفية بسوبق وتمر
Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan jamuan makanan yang terbuat dari tepung gandum dan kurma

Dalam sanad Hadits tersebut, terdapat seorang rawi bernama Wa'il yang meriwayatkan Hadits tersebut dari anaknya (Bakr Ibn Wa'il). Sedang perawi yang lain tidak ada yang meriwayatkan demikian
Adapun penyendirian pada segi matan, artinya matan Hadits yang diriwayatkan itu berbeda dengan periwayatan rawi-rawi lain.

Penyendirian seorang perawi seperti di atas, bisa pada keadilan dan kedhabitannya, atau pada tempat tinggal atau kota tertentu. Misalnya, Hadits itu tidak diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah kecuali si fulan. Maka si fulan berarti gharib dalam ketsiqahannya dari perawi lainnya. Atau misalnya, Hadits itu tidak diriwayatkan oleh penduduk ahli Madinah kecuali si fulan. Maka si fulan berarti gharib dalam meriwayatkan Hadits tersebut.

Dilihat dari sudut keghariban pada sanad dan pada matan, Hadits Gharib terbagi kepada dua macam. Pertama, keghariban pada sanad dan matan secara bersama-sama, dan kedua, keghariban pada sanad saja .
Yang dimaksud dengan Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama adalah Hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu silsilah sanad dengan satu matan Haditsnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Gharib pada sanad saja adalah Hadits yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan Hadits melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai Hadits Gharib pada sanad.
Dari pembahasan tentang Hadits Gharib tersebut, jelasnya pada Hadits Gharib mempunyai beberapa hukum (nilai) diantaranya :

Shahih, yaitu jika perawinya mencapai dhabith yang sempurna dan tidak ditentang oleh perawi yang lebih kuat dari padanya.
Hasan, yaitu jika dia mendekati derajat yang di atas dan tidak ditentang oleh orang yang lebih rajah dari padanya.
Syad, yaitu jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang dia adalah orang kepercayaan.
Munkar, yaitu jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang diapun adalah orang yang lemah.
Matruk, yaitu jika dia tertuduh dusta walaupun tidak ditentang oleh orang lain.

Oleh karena yang demikian, terbagilah Hadits Gharib kepada tiga bagian, yaitu :
Gharib Shahih, yaitu segala Hadits Gharib yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
Gharib Hasan, yaitu kebanyakan Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan at-Turmudzi
Gharib Dha'if, yaitu kebanyakan Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan-sunan lain dan dalam musnad-musnad

Untuk menetapkan suatu Hadits itu Gharib, hendaklah diperiksa lebih dulu pada kitab-kitab Hadits, semisal kitab Jami' dan kitab Musnad, apakah Hadits tersebut mempunyai sanad lain selain sanad yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada hilanglah kegharibannya.

Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadap Hadits yang diperkirakan Gharib dengan maksud apakah Hadits tersebut mempunyai mutabi' atau syahid, disebut i'tibar. Jadi yang dimaksud dengan i'tibar di sini adalah : 

الإعتبار تتبُّعُ طرق الحديث من الجوامع والمساند والأجزاء
حتى يُعلم أن له متابعا أو شاهدا, أو ليس له شيئ منهما

I'tibar adalah meneliti jalan-jalan Hadits dalam kitab-kitab Jami' Musnad dan kitab-kitab juz untuk mengetahui apakah Hadits yang disangka fard (gharib) itu, ada mutabi'nya atau tidak.

Ketentuan umum Hadits Ahad
Pembagian Hadits Ahad kepada Masyhur, 'Aziz dan Gharib tidak bertentangan dengan pembagian Hadits Ahad kepada Shahih, Hasan dan Dha'if. Sebab membagi Hadits Ahad kepada tiga macam tersebut, bukan bertujuan langsung untuk menentukan maqbul dan mardudnya suatu Hadits, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya suatu sanad. Sedang membagi Hadits Ahad kepada Shahih, Dha'if dan Hasan adalah bertujuan untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu Hadits.

Dengan demikian, Hadits Masyhur, 'Aziz itu masing-masing ada yang Shahih, Hasan dan Dha'if. Juga tidak setiap Hadits Gharib itu tentu Dha'if. Ia adakalanya Shahih, apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan Hadits yang lebih rajih. Hanya saja pada umumnya, Hadits Gharib itu Dha'if, dan kalaupun ada yang Shahih, itupun hanya sedikit.

Contoh Hadits Gharib yang Shahih adalah Hadits Ibnu Mas'ud RA : 

قال رسول الله صلعم : نضّرالله عبدا سمع مقالتي فوعاها فأدّاها كما سمعها

Rasulullah SAW bersabda : Allah mencemerlangkan seorang hamba yang mendengarkan pembicaraan-pembicaraanku, lalu dipeliharanya, kemudian disampaikannya seperti yang diterimanya.

Kedudukan Hadits Mutawatir Dan Hadits Ahad
Hadits Mutawatir jumlahnya banyak sekali dan sudah pasti shahih, sehingga tidak dibahas lagi dalam ilmu isnad/musthalahul Hadits, karena ilmu Hadits membahas siapakah perawi Hadits itu, seorang muslim, adil, dlabith ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya. Hanya yang perlu dibahas di dalam Hadits Mutawatir adalah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama memberitakan itu atau tidak, baik berdusta dengan jalan mufakat atau karena kebetulan saja, demikian pula keadaan yang melatar belakangi berita itu, terutama kalau bilangan perawi itu tidak begitu banyak jumlahnya. Karena Hadits Mutawatir sudah pasti shahih, wajib diamalkan tanpa ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah. Dan Hadits Mutawatir memberikan faedah qat'i (yakin), sehingga bagi orang yang mengingkari Hadits mutawatir dihukumi keluar agama Islam dan termasuk kafir . Sedangkan menurut M. Ajaj al-Khotib, bahwa Hadits Mutawatir merupakan suatu perintah atau larangan yang harus diikuti dan diamalkan oleh setiap orang muslim .

Sedangkan Hadits Ahad memberikan faedah dhanni (diduga keras akan kebenarannya) wajib diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya dalam ilmu Hadits dan Ushul Fiqh . Para muhaqqin menetapkan bahwa Hadits Ahad yang shahih diamalkan dalam bidang amaliah, baik masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas dasar atau dalil yang qat'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah dhanni. Oleh karena itu, mempercayai suatu i'tikad yang hanya berdasarkan dalil dhanni tidak dapat dipersalahkan. Dan Hadits Ahad tidak dapat menghapuskan hukum dari al-Qur'an, karena al-Qur'an adalah Mutawatir, demikian pendapat imam Syafi'i. Dan menurut Ahlu al-Dhahir (pengikut madzhab ad-Dahahiri) bahwa Hadits Ahad juga tidak boleh dipakai untuk mentakhsiskan ayat-ayat al-Qur'an yang 'am, pendapat ini dikuti oleh sebagian ulama' pengikut Hambali. 

Perbedaan Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad.
Dari segi jumlah rawi, hadis mutawatir diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadsi ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan nasih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan ilmu qat’i (pasti) atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa Hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadis ahad menghasilkan ilmu zanni(bersifat dugaan), bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
Dari segi kedudukan, hadis mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada hadis ahad. Sedangkan kedudukan hadis ahad sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadis mutawatir.
Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadis mutawatir mustahiol bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur’an, sedangkan keterangan matan hadis ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al-Qur’an. Bila dijumpai Hadist-hadist dalam kelompok Hadist ahad yang keterangan matan Hadistnya bertentangan dengan keterangan ayat Al-Qur’an, maka Hadist-hadist tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadits. Pustaka Setia: Bandung.

Ajaj al-Khotib, Muhammad.Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Manarah : Jeddah, Makkah

Al-Jawaby, Muhammad Thahir. Matnul Hadisi an-Nabawy as-Syarif. Mu'assasah al-Karim Abdullah: Tunisia.

Al-'Aththar, Abdul an-Nashir Taffiqul.Úlumus as-Sunnah wa Dusturu al-Ummah.

Anwar, Moh, Bc Hk.1981. Ilmu Musthalah Hadits, al-Ikhlas: Surabaya.

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang:Jakarta.
At-Thahhan, Mahmud.Taisiiru Musthalahul Hadisi.

'Atar, Nuruddin. 1997. Manhajun al-Naqdi fi Ulumil Haditsi. Dar al-Fikr al-Mu'asir: Beirut.

Hasan, A. Qadir. 1990. Ilmu Mushthalah Hadits. CV Diponegoro; Bandung.

Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. PT al-Ma'arif: Bandung.

Ranuwijaya, Utang. 2001. Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama: Jakarta.

Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Amal Bakti Press:Bandung.

Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits.PT Raja Grafindo Persada,:Jakarta.


0 komentar:

Posting Komentar