About

Selamat Datang

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 23 Januari 2013

Kimia Bahan Alam

Free Downloads Maeri Kimia Bahan Alam

Download

Biokimia

Free Downloads Materi-materi Biokimia

Vitamin Oleh Drg. Arief Suryadinata
Download

Metabolisme asam nukleat oleh Drg. Arief Suryadinata
Download 

Asam Urat
download

Hubungan Antar Metabolisme oleh Drg. Arief Suryadinata
Download 

Hormon oleh Drg. Arief Suryadinata
Download 

Degradasi dan Sintesa Nukleotida oleh Drg. Arief Suryadinata
Download 

Pendahuluan Biokimia
Download

Karbohidrat
Download

Sabtu, 19 Januari 2013

Analisis Senyawa Organik

Free Download Materi Analisis Senyawa Organik
Spektroskopi UV-Vis
Download
Download

NASIKH MANSUKH

NASIKH MANSUKH
Pengertian Nasikh Mansukh
Nasakh secara estimologi adalah menghilangkan atau memindahkan sesuatu dan mengalihkannya dari satu kondisi pada kondisi lain, sementara ia sendiri tetap seperti sediakala. Secara terminologis, adalah seruan pembuat syariat yang menghalangi kebelangsungan hokum pembuat syariat sebelumnya yang telah di tetapkan.

Sementara itu mansukh adalah hukum yang dihilangkan, seperti hukum iddah setahun penuh wanita yang ditinggal mati suaminya.
Menurut Subhi al-Shalih, pengertian Secara etimologis ada beberapa pengertian nasikh terutama ketika kita merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an.

Pertama, Nasikh diartikan sebagai Izalah, yaitu penghilangan. Pengertian ini diambil dengan merujuk pada ayat “Allah menghilangkan apa yang dimansuhkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya” (QS. al-Hajj : 52).

Kedua, Nasikh berarti pergantian (tabdil). Hal ini merujuk pada ayat, “dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya” (QS. al-Nahl : 101).

Ketiga, Nasikh diartikan sebagai tanasukh al-mawarits, pemindahan warisan dari satu orang kepada orang lain.

Keempat, Nasikh diartikan sebagai al-Naql, (menukil atau memindahkan). Salah satu ayat yang menyinggung pengertian ini adalah inna kunna astansikh-u ma kuntum ta’malun (sesungguhnya kami memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran (catatan amal).
Sementara Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan dan sebagainya.
Mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Tetapi penghapusan ini tidak termasuk al-bara’ah al-ashliyah, yang bersifat asli, kecuali disebabkan mati atau gila ataupun penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.
Sementara Subhi al-Shalih menegaskan bahwa nasikh adalah raf’-u al-hukm-i al-syar’-i bi dalil-i al-syar’-i, mencabut (mengangkat) hukum syar’i dengan dalil syar’i pula. Oleh karena itu al-Syatibi memberikan batasan terhadap nasikh ini ;

Pertama, pembatalan sebuah hukum yang terdahulu, karena adanya penetapan hukum kemudian.
Kedua, pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
Ketiga, adanya penjelasan yang datang sesudah ditetapkannya sebuah hukum, tetapi masih samar.
Keempat, penetapan syarat hukum terdahulu terhadap hukum yang belum bersyarat.
Akan tetapi, batasan ini ditolak oleh sebagian Ulama’, karena luasnya batasan tersebut, sehingga tidak jelas mana yang mukhassis dan mana yang muqayyid. Lalu munculah batasan nasikh yang lebih sempit, yaitu;,ketentuan-ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu. Sehingga hukum yang berlaku adalah yang telah ditetapkan terakhir.


Nasakh hukum khithab dan hukum dalil
Nasakh hukum khithab memepunyai beragam bentuk, ada yang hokum seruannya dinasakh tanpa mengalami perubahan, ada yang mengalami perubahan lebih ringan, ada yang setara, dan adpula yang lebih berat. Namun, dalam konteks nasakh tersebut tidak pernah terjadi penasakhan bacaan, sedangkan hukumya masih berlaku. Jika ada, keimpulan ini tidak didukung dengan dalil qhath’ I, seperti kasus bacaan surat zina as-syakh [u] wa as-syakath [u] idza zanaya yang dilansir oleh kalangan tertentu. Ketika konon bacaan ini telah dinasakh dengan surat an-Nur:2. Dari sini, maka konteks nasakh tersebut bias dibagi menjadi:

Nasakh huum khithab tanpa disertai perubahan hokum;
Perubahan yang lebih ringan : mengenai hukum khithab dengan disertai perubahan hukum yang lebih ringan;
Perubahan setara; nasakh dengan implikasi perubahan setara itu terjadi sebagaimana dihapuskannya hukum menghadap baitul maqdis, al-Quds menjadi ke ka’bah. Dikatakan setara karena masing-masing hokum yang me-nasakh dan di-nasakh sama-sama perintah mengadap kiblat.
Perubahan yang lebih berat; nasakh dengan implikasi perubahan hokum yang lebih berat. Misalnya terlihat dalam konteks zina.

Nasakh dalil satu dengan yang lain bias dilauan dengan me-nasakh staus sumbernya yang lebih tinggi, bukan sebaliknya. Dari sini , bisa disimpulkan bahwa nasakh tersebut bisa terjadi melalui prosedur sebagai berikut:
Nasakh hukum iddah selama satu tahun dalam nas al-Qur’an; misalnya telah dinasakh dengan hokum iddah selama 4 bulan 10 hari, Juga bisa kita lihat pada kasus penetapan hukum masalah arak (khamr), yang pada mulanya al-Qur’an hanya menyampaikan tentang positif dan negatifnya khamr tersebut, kemudian al-Qur’an meminta kaum Muslimin untuk tidak mabok ketika sholat (QS. al-Nisa/4 : 43). Dan terakhir al-Qur’an menegaskan kepada kaum Muslimin untuk tidak menggunakan atau meminum khamr (QS. al-Maidah/5 : 90 – 91).
Tidak boleh menasakh al-Qur’an dalam hadits mutawatir, sekalipun hadits mutawatir statusnya qath’I, namun ia tetap tidak bisa menasakh al-Qur’an karena alas an sebagai berikut:

Pertama: Allah Swt berfiman “ apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai penggantinya, dan Allah lebih mngetahui apa yang diturunkannya”.(QS an-nahl[16]:101).

Kedua: firman Allah Swt “ ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya , kami datang yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”(QS al-Baqarah[2]:106).

Ketiga firman Allah Swt “ kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya” (QS an-Nahl[16]:44).

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka hadits mutawatir jelas tidak bisa menasakh al-Qur’an. Lebih-lebih hdits ahad. Mengenai alasan kalangan yang memebolehkan al-Qur’an dinasakh dengan hadits mutawatir karena perubahan kiblat dari baitul maqdis ke ka’bah. Adapun yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa tindakan sahabat yang berpindah kiblat dengan hadits mutawatir itu sebenarnya dalam konteks menerima hokum syara’. Sementara itu nasakhnya itu sendiri terjadi bukan karena hadits tersebut, melainkan karena nsh al-Qur’an, sebagaimana disebutkan di atas.

Sejarah Perkembangan
Sebenarya Ilmu Nasikh Mansukh itu sudah ada sejak pendiwanan(kodifikasi) pada awal abad pertama,akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Kehadiranya sebagai ilmu di promotori oleh Qatadah bin Di"amar As-sudusi (61-118 H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul "An-nasikh wal-mansukh", Namun sangat disayangkan bahwa kitab tersebut tidak bisa kita manfaatkan ,lantaran tiada sampai hidup kita.


Pentingnya memepelajari ilmu ini adalah :
Mengetahui Ilmu Nasikh Mansukh adalah tertmasuk kewjiban yang penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syari"at. Karena seorang pembahas syari"at tidak akan dapat memetik hokum dari dalil-dalil naskh (hadits), tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang sudah di nasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya.

Memahami khitob hadits menurut arti yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil nash (hadits) yang tidak jelas penunjukanya. Diantara jalan untuk mentahqiq (mempositipkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat ialah dengan mengetahui mana hadits yang terdahulu dan mana pula hadits yang terkemudian dan lain sebagainya dari segi makna.

Ilmu nasikh mansukh ini bermanfaat untuk pengamalan hadits,Apabila ada dua hadits maqbul (Diterima) yang tanaaqud (bertentangan) yang tidak dapat dikompromikan atau dijama" (di kumpulkan). Apabila dapat di kompromikan,hanya sampai pada tingkat Mukhtalif Al-hadits,maka kedua hadits tersebut dapat diamalkan. Namun jika tidak bisa dijama" (Di kompromikan), maka hadits maqbul yang tanaaqud tadi di tarih atau di nasakh.

TAFSIR BI RA’ YI
Model tafsir bi ra’ yi ini adalah seluruh kitab tafsir yang di susun dengan menggunakan sumber kebahasaan atau dirayah. Model tafsir seperti ini , contohnya tafsir al-Kasyasyf, yang ditulis oleh az-Zamakhsyari, tafsir Mafatih al-Gayb, karya fkhruddin ar-Razi, serta tafsir al-Bahr al-Muthih yang ditulis oleh Abu Hayyan.

Pengertian Tafsir Bi Ra’ Yi
Tafsir bi-ra’yi adalah metodologi penafsiran Al-Qur’an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan kemampuan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat (ar-riwayat). Disamping aspek itu, kemampuan tata bahasa, retorika, etimologi, konsep yurisprudensi, dan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wahyu dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir.

Kata “ar-ra’yu” yang berarti “kebebasan pemikiran”, cenderung berkonotasi pada rasionalitas ijtihad terhadap penafsiran al-Qur’an. Ini berarti, al-Qur’an dianggap sebagai teks “fleksibel” yang memberi ruang gerak secara bebas bagi mufassir untuk menentukan dan memberi penafsiran sesuai dengan “kepentingannya”. Sehingga perlu adanya syarat-syarat tertentu yang membatasi pengertian Tafsir bi ar-ra’yi terutama dalam aplikasinya. Ijtihad yang dimaksud disini adalah berdasarkan dasar-dasar yang benar dan kaidah-kaidah yng lurus. Jadi, jelaslah bahwa tafsir bi ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya ekedar gagasan yang terlintas dalam fikiran seseorang.

Sebagaimana yang diriwayatkan at-Turmudzi, bahwa; "Barang siapa menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa berdasarkan “pengetahuan” (al-ilmu), maka neraka adalah tempatnya”.
Al-Qurthubi berkata: "Barangsiapa berkata tentang Al-Qur'an (menafsirkannya) dengan suatu dugaan atau gagasan yang terlintas dalam fikirannya, tanpa adanya dasar-dasar yang kuat, maka ia salah dan tercela. Dan dia termasuk dalam golongan orang yang disebut dalam sebuah hadits yang berbunyi: "Barangsiapa dengan sengaja berbohong atas namaku, maka ambillah tempat duduknya di neraka (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas)


Pembagian tafsir bi ra’yi
Tafsir Mahmud
Yaitu suatu penafsiran yang cocok dengan tujuan syar'i, jauh dari kesalahan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta berpegang teguh pada ushlub-ushlubnya dalam memahami nash Al-Qur'an. jadi barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, maka tafsirnya patut disebut afsir tafsir mahmud atau tafsir masyru'.

Tafsir Al-Bathil Al-Madzmum
Yaitu penafsiran berdasarkan hawa nafsu, yang berdiri di atas kebidihan dan kesesatan. Manakala seseorang tidak faham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta tujuan syara', maka ia akan jatuh dalam kesesatan, dan pendapatnya tidak bisa dijadikan acuan.

Meskipun tafsir bi ra’yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’y (pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan criteria yang berlaku. Penafsiran berupa inilah yang haram oleh ibn Taimiyat. . Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad yang berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kaedah-kaedah yang mu’tabarat (diakui sah secara bersama).

Meskipun telah terdapat upaya sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan tabi’in sebagai tonggak munculnya ijtihad namun tidak menutup kemungkinan bahwa sejak zaman Nabi, benih-benih tafsir bir-ra’yi telah tumbuh dikalangan ummat Islam.

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.

Sebagian ulama menerima tafsir ini dengan beberapa syarat yang cukup ketat diantaranya :
Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya
Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an
Berakidah yang benar
Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.

Kritik terhadap Tafsir bi ar-Ra’yi
Tafsir bi ar-ra’yi masih harus didasarkan pada syarat-syarat yang ada pada Tafsir bi al-ma’tsur, maka kritik terhadap Tafsir bi ar-ra’yi haruslah Tafsir bi ar-ra’yi yang tidak berdasarkan standar kualifikasi itu, yang kemudian disebut Tafsir bi ar-ra’yi yang terlarang atau “ta’wil yang dibenci”. Thameem Ushama mengemukakan beberapa kritikan terhadap Tafsir bi ar-ra’yi, sebagai berikut:

Pertama, metode ini masuk pada katagori firman Allah; Mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Kedua, Hadits-hadits yang melarang Tafsir bi ar-ra’yi yang tidak berdasarkan standar kualifikasi, sebagaimana yang diriwayatkan at-Turmudzi, bahwa “barang siapa menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa berdasarkan “pengetahuan” (al-ilm), maka neraka adalah tempatnya”, ketiga, firman Allah yang mengindikasikan bahwa hanya Rasulullah yang mempunyai otoritas atas bayan al-Qur’an (QS. 16: 44), dan keempat, fakta empiris yang menyatakan bahwa para sahabat membatasi diri mereka untuk menyatakan sesuatu sebagai interpretasi mereka terhadap al-Qur’an berdasarkan pemikiran.

Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam
Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
Tafsir Abdul Jabbar
Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib
Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
TAFSIR BIL MA’ TSUR

Pengertian Tafsir Bil Ma’ Tsur
Model tafsir bi mat’sur adalah seluruh kitab tafsi yang disusun dengan menggunakan manqul atau riwayat, baik al-qur’an, as-Sunna, padangan sahabat, maupun isra’iliyyat. Model tafsir seperti ini contohnya tafsir al-Qur’an al-Adzim, yang ditulis oleh ibn at-thabir, tafsr al-Muharrir al-Wajiz karya ibn athiniyah, tafsi Qur’an alAdzim yang ditulis oleh ibn katsir, serta tafsir ad-Durr al-Mantsur, karya as-Suyuti.
Tafsir bil ma’ tsur Ialah penafsiran berdasarkan pada kutipan kutipan yang sahih menurut urutan pengambilan pendapat , yakni menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, kemudian Qur’an dengan Sunah, lalu perkataan para sahabat, tabiin, tabiit tabiin. Sang penafsir harus melihat dan menyampaikan penafsiran para pendahulu mereka. Ia tidak diperkenankan melakukan ijtihad untuk menjelaskan suatu makna ayat tanpa ada dasarnya. Dengan cara seperti ini tentu perbedaan pendapat diantara para penafsir bil ma’sur sangat sedikit jumlahnya dibanding dengan mereka yang menggunakan prinsip bil raýi. Tafsir bil ma’sur adalah tafsir yang harus diikuti dan menjadi pedoman utama karena ia adalah penafsiran yang sangat aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan.

Secara etimologi tafsir bisa berarti : الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar ). Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir bi al-Ma`tsur” atau bi al-riwayat adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam khazanah intelektual islam . Tafsir Bil Ma’tsur adalah tafsir yang berlandaskan naqli yang shahih, dengan cara menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an atau dengan sunnah, yang merupakan penjelas kitabullah. Atau dengan perkataan para sahabat yang merupakan orang-orang yang paling tahu tentang kitabullah, atau dengan perkataan tabi'in yang belajar tafsir dari para sahabat.

Nabi Muhammad Saw bukan hanya bertugas menyampaikan al-Qur’an, melainkan skaligus menyampaikan kepada umat sebagaimana ditegaskan Allah di dalam surat an-Nahl ayat 44 yang berbunyi “Dan kami turunkan kepadamu al-Dzikir (al-Qur’an), agar kamu enerangkan kepada umat manusian apa yang telah diturunkan kepada mereka” dan ayat 64 yang berbunyi “Dan kami tidak munurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan di dalamnya…”
Kecuali penafiran dari Nabi Saw, ayat-ayat tertentu juga berfungsi menafsirkan ayat yang lain. Ada yang langsung ditunjukan oleh Nabi bahwa ayat-ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain, ini masuk kelompok tafsir bi al ma’ tsur (tafsir melalui riwayat).

Metode tafsir bil ma’ tsur
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :

Tafsir At-Tobary ( ( جامع البيان في تأويل أى القران terbit 12 jilid
Tafsir Ibnu Katsir (العظيم تفسير القران) dengan 4 jilid
Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل )
Tafsir Imam As-Suyuty التفسير بالمأثور ) ( الدر المنثور في terbit 6 jilid.


Hukum tafsir bil ma’tsur.

Tafsir bil ma'tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata, Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidaknkeluar dari perkataan salaf.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan kita mengetahui bahwa Al-Qur'an telah dibaca oleh para sahabat tabi'in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang kebenaran yang dibebankan Allah kepada Rasulullah untuk menyampaikannya”.

Kelemahan Tafsir Bil-Ma’tsur:
Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Karya-karya Kitab Tafsir bil-ma’tsur :
Tafsir Ibn Abbas
Tafsir Ibn ‘Uyainah
Tafsir Ibn Abi Hatim
Tafsir Abu Syaikh bin Hibban
Tafsir Ibn ‘Atiyyah
Tafsir Abu Laits as-Samarqandi
Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
Tafsir Ibn Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an
Tafsir Ibn Abi Syaibah
Tafsir al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim
Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an
Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri bi al-Ma’tsur
Tafsir as-Syaukani, Fath al-Qadir


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. 2000. Ulumul Qur’an: Untuk IAIN, STAIN, DAN PTAIS, Bandung : Pustaka Setia.
Baidan, Nashiruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur'an . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djalal, Abdul. 2000. Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu.
Drs.. Hafidz Abdurrahman, MA. 2004 Ulumul Qur’an.bogor:CV idea pustaka utama.
Syadali, Ahmad dkk. 1997. Ulumul Qur’an I .Bandung: Pustaka.
Quraish Shihab, 1998. Membumikan al-Qur’an Bandung : Mizan

Kamis, 10 Januari 2013

Resin Penukar Ion

Pen. Surfaktan Anionik

Kromatografi Lapis Tipis