About

Selamat Datang

Sabtu, 29 Desember 2012

Kodifikasi (Tadwin) Hadist

Secara bahasa tadwin di terjemahkan dengan kumpulan shiffah(mujtama’ al-shoruf).secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u(mengumpulkan) .Al-zahrani merumuskan pengertian tadwin:

تفيدالمتفرق المشتت وجمعه في ديوان اوكتاب تجمع فيه الصح

Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diaawn atau kitb yang terdiari dari lembaran

Sementara yang dimaksud dengan tadwin hadits dalam periode ini adalah pembukuan(kodifikasi)secara resmi yang berdasarkan pemerintah kepala negara,dengan melibatkan beberapa personil yang dibidangnya. Usaha ini di mulai pada masa pemerintahan islam yang di pimpin oleh kholifah umar ibnu abdul azis kholifah ke 8 dari kekholifahan bani umayyah melalui instruksinya kapada para pejabat daerah agr memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya,kepada abu bakar ibnu muhammad ibn amri ibn hazm(gubernur madinah)ia mengirim instruksi yang antara lain berbunyi:

انظرواحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فا كتبوه فا ني حفت دروس العلم ودهاب (وفي روايةدهابه العلماء)ولاتقبل الاحديث النبي صلي الله عليه وسلم
Perhatikan atau periksalah hadits-hadits rasul kemudian tuliskanlah!aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama’(para ahlinya)dan janganlah kamu terima kecuali hadits rasul SAW

Kholifah menginstruksikan kepada abu bakar ibn hazm agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada amrah binti abdurrahman al-anshori(murid kepercayaan siti asiyah)dan al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar.Inatruksi yang sama ia tijikan kepada Muhammad ibn Syuhab Al-Zuhri,yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui dari pada yang lainnya.

Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadits dalam jumlah yang menurut para ulama’ kurang lengkap .Sedang ibn syihab Al-Zuhri berhasil menghimpunnya yang dinilai para ulama’ lebih lengkap,akan tetapi sayang sekali karya kedua tabi’in ini lenyap tidak sampai pada generasi sekarang.

Latar Belakang Pembukuan Hadits

Sekurang-kurangnya ada 2 hal pokok mengapa umar ibn abdul aziz mengambil sikap seperti ini .Pertama ia khawatir terhadap hilangnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama’ di medan perang. Kedua,ia khawatir juga akan tercampurnya antara hadits-hadits yang sohih dengan hadits-hadits yang palsu. Dipihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam.Sementara kemampuan para tabi’in anta satu dengan yang lainnya tidak sama,jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini. Dengan melihat berbagai persoalan yang muncul, sehingga akibat terjadinya pergolakan politik, yang sudah cukup lama, dan mendesaknya kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna penyelamatan hadits dari kemusnahan dan pemalsuan mak umar ibn abdul aziz sebagai seorang kholifah yang berakhlak mulia,adil danwirai terdorong untuk maengambil tindakan ini bahkan menurut beaberap filsafat,ia turaut terlibat maendiskusikan hadits-hadits yang sedang dihimpunnya.

Sejarah kodifikasi hadis pada masa nabi muhammad SAW
Pembukuan hadis periode mutaqaddimin

Yang dimaksud dengan mutaqaddimin adalad periode yang berada anatar fase abad I hingga III hijriyah yang dimulai dari masa awal hijrahnya Rasulullah saw hingga masa tabi’in, masa ini kemudian diistilahkan oleh para ulama dengan al-Qurun al-Mufaddalah (abad yang dimuliakan). Pembukuan hadis pada masa mutaqaddimin terjadi dimulai pada abad akhir ke II H.

Dalam sejarah penghimpunanan dan kodifikasi Hadist mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan padamasa Usman bin Affan yang disebut dengana Tulisan Ustmani (Khath ‘Ustmani). Sedangkan penulisan Hadist pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke-2 Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad ke-3 Hijriyah.

Hadis pada masa Rasulullah saw. dan khulafa’ al-rasyidin belum dibukukan secara resmi (tadwin). Hal itu erat kaitannya dengan larangan penulisan selain al-Qur’an oleh Rasulullah saw. meskipun terdapat juga hadis yang membolehkan penulisannya.

Hadis yang melarang penulisan misalnya adalah:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ – قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ – مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda “Jangan menulis dariku, barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah dia menghapusnya. Riwayatkanlah apa yang datang dariku tanpa ada dosa, dan barang siapa yang berdusta atas diriku secara sadar,maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka.

Sedangkan hadis yang membolehkan penulisan hadis adalah:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، قَالَ : كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أُرِيدُ حِفْظَهُ ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ عَنْ ذَلِكَ ، وَقَالُوا : تَكْتُبُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا ؟ فَأَمْسَكْتُ ، حَتَّى ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : اكْتُبْ ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ.

Terjemahannya: “Dari Abdullah ibn ‘Amr berkata: Saya menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. untuk dihafal, lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata: Apakah engkau menulis semua apa yang diucapkan Rasulullah pada waktu marah dan ridha? Lalu saya diam hingga aku laporkan ke Rasulullah saw. dan berkata “Tulislah! Demi zat yang aku dalam genggamannya, tak satupun yang keluar dariku kecuali kebenaran.

Ulama berusaha untuk mempertemukan dan mendamaikan kedua hadis yang kelihatannya bertentangan satu sama lain dengan beberapa cara:

  1. Hadis Abu Sa’id al-Khudri termasuk hadis mauquf sehingga tidak layak menjadi hujjah. Sedangkan hadis Abdullah ibn ‘Amr sahih.
  2. Larangan penulisan hadis itu terjadi pada awal Islam karena khawatir bercampur baur dengan al-Qur’an, sedangkan hadis yang membolehkan itu me-nasakh hadis sebelumnya.
  3. Larangan penulisan hadis itu terjadi jika dilakukan dalam satu mushaf dengan al-Qur’an.
  4. Larangan itu berlaku bagi orang yang kuat hafalannya dan dikhawatirkan beralih ke tulisan, sedangkan izin berlaku yang tidak kuat hafalannya.
  5. Larangan penulisan hadis berlaku secara umum, sedangkan izin diberikan kepada orang yang tidak dikhawatirkan salah penulisan dan sembrono.

Oleh karena itu, penulisan hadis (al-kitabah al-Hadis|) telah terjadi pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Di antara penulis hadis dari kalangan sahabat adalah Abu Umamah al-Ba (10 SH-81 H), Abu Ayyub al-Ansari (w. 52 H), Abu Bakar al-Siddiq (50 SH-13 H) dan sahabat-sahabat lain yang jumlahnya mencapai 50-an.

Kemudian pada tingkat tabi’in, muncul juga beberapa penulis hadis antara lain, Aban ibn Us|man ibn ‘Affan (20-105 H), Ibrahim ibn Yazid al-Nakha’i (47-96 H), Abu Salamah ibn Abd Rahman (32-104 H) dan tabi’in-tabi’in yang mencapai 100-an. Kemudian dilanjutkan oleh tabi’in muda dan beberapa pengikut tabi’in.

Pada ketiga masa (abad I-III) penulisan hadis telah terjadi, namun masih dalam bentuk tulisan-tulisan individu dan belum terpisah antara satu dengan yang lainnya, mengingat anatara ketiga memiliki bentuk pembatasan periwayatan. Bentuk-bentuk pembatasan-pembatasan tersebut adalah:

  1. Pada masa Rasulullah saw terjadi pelarangan penulisan hadis dari beliau saw, karena kekhawatiran tercampurnya al-Qur’an dengan hadis.
  2. Pada masa Sahabat Nabi saw terjadi pembatasan riwayat disebabkan karen kekhawatiran para KhulafaU Al-Rasyidin umat Islam mengkonsentrasikan diri mencari dan menghafalkan hadis dan mengabaikan al-Qur’an .
  3. Pada masa Tabi’in periwayatan masih sebatas periwayatan \lisan dan tulisan yang terdapat dalam individu-individu. : .
  4. Kodifikasi hadits atau yang biasa disebut tadwin hadits adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli di bidangnya. Kodifikasi seperti ini pernah terjadi di zaman Rasululah SAW.

Perkembangan Kodifikasi Hadits

Pada abad I H, sebagian perawi mencatat Hadits, sedangkan yang lain tidak menulisnya. Dalam meriwayatkan, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan seperti ini berlangsung sampai pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz ra. Masa ini disebut masa pra kodifikasi Hadits karena belum ada perintah resmi dari pemerintah. Walaupun ada sebagian sahabat yang menulis dan membukukannya, namun hal itu dilakukan terbatas pada motif pribadi, seperti kitab yang ditulis oleh Abdullah bin Umar bin Ash “ Al Shohifah al Shadiqah “ yang memuat seribu Hadits.

Permulaan abad ke II adalah masa penulisan dan kodifikasi Hadits yaitu kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli dibidangnya, tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang telah terjadi pada abad I H. Usaha ini dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99-102H ), khalifah ke-8 dari kekhalifahan dari Bani Umayah, melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadits dari hafalannya. Ia menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur Madinah) agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al Anshori (Murid kepercayaan Siti Aisyah). Dan Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar. Instruksi yang sama juga ia berikan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui Hadits.
Motif utama khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif demikian:

Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Al-hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya al-hadits dari pendarahaan masyarakat.
Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-hadits dari hadits-hadits maudhu’ yang dibuat oleh orrang-orang untuk mempertahankan idiologi golongannya dan mempertahankan madzabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhilafan Ali bin Abi Thalib r.a.
Alasan tidak terdewanya al-hadits secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan khulafaur rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya ddengan Al-qur’an, telah hilang, disebabkan Al-qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok. Ia telah dihafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu orang.
Kalau di zaman khulafaur rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi-menjadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama hadits, maka pada saat itu konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
Disisi lain semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lain tidak sama, sehingga sangat memerlukan adanya kodifikasi.

Beberapa ulama Hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang diantaranya :

Pertama, Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan kitabnya Al-Muwattha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab Tadwin pertama. Jumlah Hadits yang terdapat dalam kitab al Muwattha’ kurang lebih 1720 buah Hadits.
Kedua, kitab Musnadu al Syafi’i. didalam kitab ini ia mencantumkan seluruh Hadits yang bernama al-Umm, selain itu juga ada beberapa kitab lainnya seperti al-Jami’, al-Musnad, al-Musannaf Asy Syafi’I, al-Musannaf al-Auza.

Sistem pembukuan Hadits pada masa ini yaitu, para pengarang menghimpun semua Hadits mengenai masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan saja. Dan dalam kitab ini Hadits masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabi’in, belum ada pemilihan mana Hadits yang marfu’, hadist mauquf, ataupun Hadits Maqtu’, serta antara Hadits Shohih, Hasan, dan Dho’if.

Periode Penyempurnaan dan Pengembangan System Penyusunan Kitab Hadits
Awal masa ini ditandai dengan seleksi dan penyempurnaan serta pengembangan system penyusunan kitab Hadits yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Abbasiyah, khususnya sejak masa al Makmunsampai dengan al Muktadir (201-300 H).

Munculnya masa seleksi ini karena pada masa pen-tadwin-an para ulama belum berhasil memisahkan beberapa Hadits mauquf dan maqtu’ dari hadits marfu’, memisahkan hadits dhai’if dari yang shohih, bahkan hadits maudlu’ yang tercampur pada hadits shahih. Pada masa inilah mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang masih tercampur sebagaimana disebutkan di atas. Berkat ke uletan dan keseriusan para ulama, pada masa ini bermunculan kitab-kitab hadits yang hanya memuathadits-hadits shahih yang dikenal dengan kutub as Sittah (Kitab induk yang enam) yang secara lengkap kitab-kitab enam tersebut diurutkan sebagai berikut :

  1. Shahih Bukhari susunan Imam al-Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
  2. Shahih Muslim susunan Imam Muslim (202-261 H / 817-875 M)
  3. As Sunan Abi Daud susunan Abu Daud (202-275 H/ 817-888 M)
  4. As Sunan At-Tirmidzi susunan Imam Abu Isa Muhammad At-Turmudzi (209-279 H / 824-892 M)
  5. As Sunan an Nas’I susunan Imam Nasa’I (215-303 H / 830-915 M)
  6. As Sunan Ibnu Majjah susunan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba’I al Qazwini atau Ibnu Majjah (209-273 H / 824-887 M)

Dimana di antara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah:

  1. Mushannaf Said bin Manshur (227 H)
  2. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235 H)
  3. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
  4. Shahih Al Bukhari (251 H)
  5. Shahih Muslim (261 H)
  6. Sunan Abu Daud (273 H)
  7. Sunan Ibnu Majah (273 H)
  8. Sunan At-Tirmidzi (279 H)
  9. Sunan An-Nasa’i (303 H)
  10. Al- Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307 H)
  11. Tahdzibul Atsar ibnu jarir Ayh-Thobari (310 H)

Setelah munculnya kitab sittah dan muwattha’-nya Malik serta musnadnya Ahmad bin Hambal para ulama mengalihkan perhatiannya menysun kitab-kitab jawami’, kitab sarah mukhtashor. Penyusunan kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha pengembangan dan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang sudah ada, diantaranya mengumpulkan isi kitab shahih Bukhari dan Muslim.

Masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi Hadits. Sebab para ulama telah berhasil memisahkan hadits-hadits Nabi SAW dari yang bukan hadits (fatwa sahabat dan tabi’in).

Metodologi Pembukuan Hadits
Metode Juz’ dan Atraf

Ini termasuk metode paling awal yang digunakan dalam mengelompokkan hadits. Metode Juz berarti mengumpulkan hadits berdasarkan guru yang meriwayatkan hadits kepada penulis kitab hadits. Metode atraf adalah pembukaan hadits dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai penunjuk matan hadits selengkapnya. Dianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah;

  • Atraf al-Sahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H),
  • Atraf al-Sahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti (w. 401 H),

Metode Muwatta’
Secara kebahasaan muwatta berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan secara istilah ilmu hadits, muwatta adalah metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam, dan mencantumkan hadits-hadits marfu, mauquf, dan maqtu. Contoh kitab dengan metode ini adalah; Al Muwattha’ disusun oleh Imam Malik(95H-179H)

Metode Mushannaf
Secara kebahasaan mushannaf berarti sesuatu yang disusun, namun secara istilah sama artinya dengan muwatta’.

  • Al Mushannaf disusun oleh Syu’ban Ibn Hajjaj (160H)
  • Al Mushannaf disusun oleh Sufyan ibn Uyainah (198H)

Metode Musnad
Musnad adalah kitab yang disusun oleh pengarangnya dengan mengurutkan daftar nama shahabat, lalu ditampilkan hadis-hadis yang periwayatannya sampai kepadanya, dari seorang shahabat tertentu di dalam musnad shahabat tersebut, kemudian shahabat lain di dalam musnad shahabat lainnya. Demikianlah kitab ini disusun, dengan mengesampingkan tema hadis. Kitab musnad yang paling terkenal, paling luas, paling banyak manfaatnya adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.

Metode Jami
Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Kitab Jami’ adalah kitab hadits yang metode penyusunannya mencakup seluruh topik-topik dalam agama, baik aqidah, hukum, adab, tafsir, manaqib, dan lain-lain. Dianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah;

Al-Jami’ Baina al-Sahiaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-Humaidi (w. 488 H)

Metode Mustakhraj
Manakala penyusunan kitab hadits berdasarkan penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metode ini disebut mustakhraj. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah;

Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani
Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H),
Takhrij ahadis al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya’UlumuDin kraya al-Gazali

Metode Sunan
Kata ‘sunan’ adalah bentuk jamak dari kata sunnah, yang pengertiannya sama dengan hadits. Sementara yang dimaksud di sini adalah metode penyusunan berdasarkan klasifikasi hukum-hukum Islam (abwab fiqhiyah), dan hanya mencantumkan hadits-hadits marfu’. Ini yang membedakan dengan metode mushannaf dan muwatta yang juga banyak mencantumkan hadits-hadits mauquf dan maqtu’.
Sunan abu daud
Sunan an nasa’i

Metode Mustadrak
Adakalanya penyusunan kitab hadits berdasarkan menyusulkan (append) hadits-hadits yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadits yang lain. Namun dalam menuliskan hadits-hadits susulan tersebut penulis kitab tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadits yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut. dianatara kitab-kitab hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah :al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni (w. 385 H).

Metode Mu’jam
Metode ini mengumpulkan hadits berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadits, negeri-negeri, atau yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu’jam (alfabet). Kesembilan metode di atas merupakan metode yang lahir sejak dini, dimulai dari masa para sahabat.

Metode Zawaid
Sebuah hadits terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadits secara bersama-sama dalam kitab mereka. Ada pula hadits yang hanya ditulis oleh seorang penulis hadits saja, sementara penulis hadits yang lain tidak menuliskannya. Maka hadits-hadits jenis kedua ini menjadi lahan penelitian para pakar hadits yang datang kemudian. Hadits-hadits ini kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri. Metode penulisan ini disebut zawaid yang berarti tambahan-tambahan. Di antara kitab- yang ada dengan metode ini adalah Zawaid al-Sunan al-Kubra oleh al-Busiri,

Penelitian hadis periode kontemporer

Setelah terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimin dan disempurnakan pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai berikut

Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’ al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-ahihah, al-D}a’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtasar Sahih Muslim.
Metode tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
Metode digital yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudahan kepada para peneliti hadis zaman ini

Pada masa ini jarang ditemukan ulama-ulam yang mampu mmenyampaikan periwayatan hadits beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna. Yang umum adalah mempelajari kitab-kitab hadits yang ada,mengembangkannya, membuat pembahasan-pembahasannya atau membuat ringkasan-ringkasan hadits. Pada masa ini meskipun hadits relative sudah mapan, tetapi banyak ulam yang melakukan ijtihad dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmiyah ilmu hadits. Selanjutnya sejak abad X sampai abad XIV kreatifitas ijtihad berhenti, kegiatan yang ada hanya masalah peringkasan dan pendiskusian hal-hal yang sifatnya harfiyah. Di antara kitab yang lahir pada masa ini adalah Al-Mahmudah Al-Baiquniyah karya Umar Ibn Muhammad Ibn Futuhi Al-Baquni. Di antara kitab karya-karya yang muncul pada masa itu adalah Al-Hadits Wa Al-Muhaddistun karya Muhammad Abu Zahw, As-Sunnah Wa Makanatuhu Fi At-Tasyri’ Islami karya Musthofa As-Siba’i.

DAFTAR PUSTAKA
Fatkhurrahman. 1970. Ikhtisar. Mustholakhul hadits. PT Al ma’arif : Bandung

Fazlurrahman. 1994. Wacana: Studi Hadits Kontemporer. PT. Tirta Wacana: Yogyakarta

Khon, Abdul Majid .1999. Ulumul Hadits . Pustaka Firdaus. Jakarta

Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Pustaka Setia : Bandung

Mustafa A’zhami, 1994, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Pustaka Firdaus; Jakarta

Syuhbah, Abu. 1999, Kutubussitah, Mengenal Enam Kitab Pokok Hadits Shahih dan Biografi Para Penulisnya. Pustaka Progresif : Surabaya

Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. UIN Press : Malang

http://sahrunalpilangi.blogspot.com/2010/03/pembukuan-hadist.html

http://sahrunalpilangi.blogspot.com/2010/03/pembukuan-hadist.html

0 komentar:

Posting Komentar