Al-Quran
Al-qur’an sebagai masdar (kata benda verbal) dari kata qara’a (Membaca), “Qur’an” secara harfiyah berarti ‘bacaan’ atau ‘hafalan’. Bisa didefinisikan sebagai ‘kitab yang berisi firman allah yang diwahyukan kepada Mhammad dalam bahasa arab dan sampai kepada kita melalui periwayatan yang tidak terputus atau tawatur. Qur’an merupakan dalil tentang kenabian Muhammad, pedoman yang paling oritatif bagi umat islam dan sumber pertama dari syari’ah. Alqur’an sebagaimana dinyatakan al-syaukani adalah kalam allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad Ibn Abdullah, dalam bahasa arab dan maknanya murni yang sampai pada kita secara mutawatir.
Kedudukan alqur’an sebagai sumber hukum
Para ulama dan seluruh umat sepakat menjadikan alqur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi syari’at islam, termasuk dalam hukum islam. Latar belakanga al-qur’an menjai sumber hukum. Keberadaaan alqur’an yang di akui secara mutawatir berasal dari allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, melalui perantara malaikat jibril .
- Informasi al-qur’an yang menjelaskan bahwa ia berasal dari allah. Dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-nisa’ ayat 4, sebagai berikut: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusisa dengan apa yang telah allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (Q.S Al-Annisa, 4:105)
- Kemukjizatan al-qur’an sebagai bukti bahwa ia bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari allah.
Ada tiga macam hukum yang terdapat dalam al-qur’an, yaitu :
Pertama, hukum I’tiqadiah, yaitu yang bersangkutan apa-apa yang diwajibkan kepada mukallaf tentang I’tiqadnya kepada allah, malaikatnya, kitabnya, rasul-rasulnya dan hari kiamat.
Kedua, hokum Khulqiah, yaitu yang bersangkut apa yang diwajibkan kepada mukallaf, akan meningkatkan moral, budi pekerti, sopan santun, dan menjauhkan diri dari sikap tercela.
Ketiga, Hukum amaliah, yaitu ketentuan hukum tentang tingkah laku manusia dalam hubungan dengan allah dan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Hukum amaliah dibagi menjadi dua yaitu: Hukum-hukum ibadah dan hukum muamalat. Abdul wahhab Khallaf memperinci hukum mu’amalat ke dalam 7 macam yaitu:
- Hukum keluarga (Ahkam al-ahwal al-syahsiah), yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan keluarga mulai saat berlangsung pernikahan sampai dengan aturan-aturan tentang hubungan suami istri talak, ruju’, iddah, kewarisan dan sebagainy. Ayat-ayat alqur’an yang menjelaskan masalh ini berkisar 70 ayat.
- Hukum mu’amalat/perdata (al-hakam al-madaniah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam masalh jual beli, sewa menyewa, gadai, syirkah, hutang piutang dan hukum perjanjian. Ayat-ayat alqur’an yang menjelaskan masalh ini sekitar 70 ayat.
- Hukum Pidana (al-ahkam al-jinayat), yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak kejahatan. Ayat-ayat alqur’an yang menjelaskan maslah ini sekitar 30 ayat.
- Hukum Acara (al-ahkam al-mufara’at), yaitu hukum –hukum yang mengatur masalah pengadilan, tata cara pengadilan, kesaksian dan sumpah. Ayat-ayat alqur’an yang menjelaskan masalh ini sekitar 13 ayat.
- Hukum Ketatanegaraan (al-hakam al-dusturiah), yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah kenegaraan dan pemerintah. Ayat-ayat alqur’an yang menjelasan masalah ini sekitar 10 ayat.
- Hukum Internasional (Al-ahkam al-dauliah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara Negara islam dengan non islam dan mengatur tata cara pergaulan dan hubungan antara warga Negara islam dengan non muslim yang berada dalam Negara islam. Ayat-ayat yang menjelaskan ada sekitar 25 ayat.
- Hukum Ekonomi dan keuangan (al-ahkam al-iqtisadiyah wa al-maliyah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir miskin yang terdapat pada harta orang kaya. Terdapat sekitar 10 ayat yang menjelaskan tentang hal ini.
Keistimewaaan Alqur’an
Diantara keistimewaan al-quran itu ialah lafadz dan maknanya itu dari allah SWT lafadz-lafadz berbahasa arab itulah yang diturunkan allah kedalam hati nabi Muhammad SAW. Sedangkan tugas rasul hanya membacakan dan menyampaikannya. Keistimewaan al-qu’ran :
- Apa yang diilhamkan allah kepada rasul itu berupa makna-makna bukan diturunkan berbentuk lafadz-lafadz.
- Menafsiri sebuah surat atau surat dengan lafadz bahasa arab sebagai sinonim lafadz-lafadz al-qur’an, yang bisa memberikan lafadz asalnya, tidaklah kemudian lafadz-lafadz tersebut merupakan al-qur’an.
- Penerjemahan sebuah ayat atau surat dengan bahasa asing juga tidak dianggap sebagai al-qur’an.
Hujjah
Bukti bahwa al-qur’an adalah hujjah atas umat manusia, dan hukum-hukumnya adalah undang-ndang yang harus diikuti (ditaati) olehnya ialah: Bahwa al-quran itu diturunkan dari sisi allah SWT dan disampaikan kepada umat manusia dengan jalan yang pasti, tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya. Sedangkan bukti bahwa ia dari sisi allah, berupa kemukjizatannya melemahkan umat manusia untuk mendatangkan semisalnya .
I’jaz menurut bahasa arab ialah menghubungkan sifat kelemahan dan menetapkannya kepada pihak lain. I’jaz itu tidak akan terbukti, dalam arti memantapkan adanya kelemahan bagi orang lain, kecuali adanya tiga hal yaitu :
- Tantangan
- Adanya motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan.
- Meniadakan yang menghalangi tantangan.
Kemukjizatan alqu’ran
Ulama telah sepakat bahwa: al-qur’an tidak melemahkan manusia untuk mendatangkan yang sepadannya hanya karena satu aspek saja, namun karena semua aspek. Aspek-aspek itu meliputi aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis). Salah satu bukti bahwa alquran berasal dari allah adalah abahwa alqur’an dapat dibuktikan secara ilmiah. Sebagian kemukjizatan al-qur’an yang dapat dicapai oleh aqal adalah sebagai berikut:
Keharmonisan uslub bahasanya, maknanya, hukumnya dan teorinya.
2. Kesesuaian ayat-ayatnya menurut teori-teori yang telah disingkap oleh ilmu pengetahuan.
3. Memberikan hal-hal kejadian yang tidak diketahui, kecuali oleh allah SWT yang maha mengetahui hal-hal ghaib.
4. Kefashohahan lafaznya, kebalghohan ungkapan bahasnya dan kekuatan pengaruhnya.
Dalalah Al-qur’an
Nas Qat’i dan zanni
Nas qat’I adalah nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain. Contohnya adalah tentang hak suami terhadap harta istrinya yang telah meninggal, sebagai berikut : ‘Dan bagimu separoh dari harta yang ditinggalkan isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak’ (Al-Nisa, 4:12) .
Ayat alqur’an yang bersifat spekulatif (Zanni), sebaliknya terbuka bagi penafsiran dan ijtihad. Penafsiran yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara keseluruhan dalam al-qur’an dan mencari penjelasan yang diperlukan pada bagian yang lain dalam konteks yang sama atau bahkan berbeda. Sunah adalah sumber hukum lainnya yang melengkapi al-qur’an dan menafsirkan ketentuan-ketentuannya. Apabila penafsiran yang diperlukan dapat ditemukan dalam suatu hadist yang otentik, maka ia menjadi bagian integral dari al-qur’an dan keduanya secara bersama-sama membawa kekuatan yang mengikat. Kemudian pada urutan ini dating para sahbat yang memenuhi syarat untuk menafsirkan al-qur’an karena kedekatan mereka kepada nas, keadaan-keadaan yang melingkupinya dan ajaranajaran Nabi.
Sebuah contoh nas yang zaani dalam al-qur’an adalah nas yang berbunyi ‘dilarang bagi kamu ibu-ibu kamu dan saudara-saudara perempuan kamu’ (Al-Nisa, 4: 23). Nas ini definitif dalam kaitan dengan larangan mengawini ibu atau saudara perempuan dan tidak ada bantahan dalam hal ini. Namun demikian kata Banatukum (saudara-saudara perempuan kamu) dapat dipahami dari makna harfiahnya, yang berarti, anak perempuan yang lahir dari seorang baik melalui perkawinan atau zina, aau makna yuridisnya. Menurut makna terakhir ‘banatukum’ hanya dapat diartikan sebagai anak-anak perempuan yang sah.
Para fuqaha tidak sependapat tentang makna mana yang harus diterapkan kepada nas itu. Para ulama hanafi mengikuti makna pertama dan menetapkan larangan menikah dengan anak perempuan yang tidak sah, sementara para ulama syafi’I memakai makna yang kedua. Menurut interpretasi ini perkawinan dengan anak perempuan yang tidak sah adalah tidak dilarang, karena nas itu hanya menunjuk kepada anak permpuan hasil perkawinan yang tidak sah. Akibat hukumnya, anak perempuan yang tidak sah tidak mempunyai hak kewarisan, dan ketentuan-ketentuan pemeliharaan dan perwalian tidak berlaku bagi dirinya.
Suatu petunjuk dari al-qur’an kadang-kadang mempunyai makna defitif dan makna spekulatif sekaligus, dimana masing-masing kasus dari dua makna ini akan memberikan ketentuan yang berdiri sendiri. Contohnya adalah petunjuk tentang syaratu wudhu yang sebagian ayatnya menyatakan : ‘…. Dan cucilah kedua tanganmu (Al-ma’idah, 5:6). Nas ini defiitif dalam hal syarat mencuci (mas) tangan dalam wudhu, tetapi karena ia tidak menentukan bagian mana yang harus dicuci secara pasti, maka ia bersifat spekulatif dalam soal ini. Oleh karena itu, kita menjumpai para fuqaha bersepakat tentang hal yang pertama tetapi berbeda pendapat tentang aspek yang kedua dar petunjuk ini.
Para ulama sepakat bahwa nas yang spesifik (khass) dari al-qur’an (dan sunah) adalah definitif, tetapi mereka tidak sepakat mengenai apakah nas yang umum (amm) definitif ataukah spekulatif. Ulama-ulama Hanafi mentapkan bahwa yang ‘amm adalah definitif dan mengikat: tetapi ulama-ulama maliki, syafi’I dan hambali berpendapat bahwa ‘amm semata adalah spekulatif dan terbuka bagi kulifikasi dan spefikasi.
Nas yang khas biasanya terdapat dalam bentuk perintah dan larangan, dapat berupa zaani atau qat’i. Bagian dari perintah atau larangan yang bersifat zani dengan mudah ditunjukan dengan kenyataan bahwa suatu perintah dalam al-qur’an dapat berarti wajib, mandub atau bahkan mubah. Demikian juga, tidaklah selalu pastui sebuah larangan didalam al-qur’an bersifat tahrim (larangan total) atau hanya karahah (dibenci).
Nas yang mutlak (mutlaq) dan yang terkulifikasi (Muqayyad) juga diklasifikasikan sebagai bagian dari corak nas yang khass. Tetapi hal ini dapat dikaitkan dengan qat’i-zanni minimal dengan dua cara. Pertama agak mirip dengan amm, mutlak adalah spkulatif dalam lingkup penerapannya yang pasti. Kedua kualifikasi mutlaq, dasar-dasarnya dan bentuk hubungan antara dikulifikasi dan yang mengkualifikasi tidak selalu merupakan materi pengetahuan yang pasti. Nas alqur’an yang mutlak kadang-kadang dikulifikasi atas dasar-dasar spekulatif.
Al-Ijmal wa’il-Tafsil (Yang bersifat Garis Besar dan yang terinci)
Bagian besar dari dalalah al-qur’an berbentuk pengungkapan prinsip-prinsip umum, meskipun dalam bidang-bidang tertentu quran juga memberikan rincian-rincian khusus. Sebagai sumber utama syari’ah, al-qur’an meletakkan pedoman-pedoman umup pada hamper setiap topic utama bagi hukum islam. Abu zahrah setuju dengan pendirian Ibn Hazm bahwa setiap bab fiqh menemukan dasar-dasarnya dalam al-qur’an yang kemudian dijleaskan dan dikolaborasikan oleh sunah.
Pernyataan yang sering dikutip bahwa “Tiadalah kami lupakan sesuatupun didalam alkitab (al-an’am, 6:38) memberikan makna bahwa Ru’us Alhakam, yakni prinsip-prinsip umum hukum dan agama, secara lengkap telah dijelaskan dalam al-qur’an. Bahwa al-qur’an terutama meperhatikan prinsip-prinsip umum dikuatkan oleh kenyataan bahwa isi-sinya memerlukan elaborasi yang panjang, yang sering diberikan, meskipun tidak menyeluruh, oleh sunah. Contohnya, ayat al-qur’an berikut memberikan otoritas tekstual kepada semua sumber hukum syari’ah, yaitu al-qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Ayat ini mengatakan: “ hai orang-orang yang beriman, taatialha allah dan rasul dan ulum amri diantara kamu, dan jika kamu berselisih tentang suatu hal maka kembalikanlah kepada allah dan rasul-Nya….” (Al-Nisa, 4:58). ‘Taatilah Allah ‘ dalam ayat ini merujuk kepada sunnah nabi dan ulul amri diantara kamu’ memberikan kewenangan kepada consensus ulama. Bagian terakhir dari ayat ini (dan jika kamu berselisih….) mengabsahkan qiyas. Suatu perselisihan hanya dapat dikembalikan kepada allah dan rasulnya dengan memperluas ketentuan-ketentuan quran dan sunah melalui analogi kepada kasus-kasus serupa. Menurut pengertian ini orang bisa mengatakn bahwa seluruh materi usul al-fiqh merupakan penjelasan tentang sat ayat Quran ini.
Al-syatibi berpendapat bahwa apabila al-qur’an memberikan rincian-rincian khusus maka ia berkaitan dengan upaya untuk mengungkapakan dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip umumnya. Sebagian besar kandungan hukum al-qur’an berbentuk ketentuan-ketentuan umum, meskipun ia memuat petunuk-petunjuk khusu tentang sejumlah topik. Pada umumnya al-quran bersifat khusus dalam masalah-maslah yang dianggap tidak bisa diubah, tetapi dalam maslah-masalah yang bisa diubah, ia haya meletakkna pedoman-pedoman umum.
Dalil al-qur’an tentang masalaha-masalah perdata, ekonomi, konstitusional, dan interasional secara keseluruhan terbatas pada pengungkapan prinsi-prinsip umum dan tujuan-tujuan hukum. Dalam bidang pidana dan hukuman legislasi al-qur’an bersifat khusus menyangkut hanya lima detik, yakni pembunuhan, pencurian, perompakan zina dan tuduhan fitnah. Oleh sebab itu, alquran memberikan wewnang kepada masyarakat dan ulul amri untuk menentukannya dalam kerangka prinsip-prinsip syari’ah dan kondisi masyarakat yang berubah-ubah. Dalam bidang hubungan-hubungan internasional, Al-quran meletakkan ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah perang dengan orang kafir dan menguraikan keadaan-keadaan ketikah harta kekayaan mereka dapat dimiliki dalam bentuk rampasan. Demikian juga, perintah-perintah alquran untuk berbuat adil terbatas pada pedoman-pedoman umum dan tidak ada rincian yang diberikan menyangkut tugas-tugas hakim atau cara pembuktian. Mengenai prinsip-prinsip pemerintahan, seperti musyawarah, persamaan dan hak asasi rakyat, Al-quran tidak memberikan rincian apapun. Prinsip-prinsip umum diletakkan dan adalah kewajiban bagi masyarakat untuk menata pemerintahan mereka dalam kerangka kondisi-kondisi masyarakat yang berubah-ubah. Al-quran sendiri melarang orang-orang yang beriman untuk mencari aturan bagi setiap masalah dengan kerangka wahyu allah yang jelas karena ini tampaknya akan membawa kepada kekakuan dan pembatasan-pembatasan yang tidak praktis: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah betanya tentang sesuatu yang jika di uraikan kepadamu maka akan mempersulit dirimu….’ (5:104).
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh Metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. Jakarta: Zikrul Hakim
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul fiqh. Jakarta : Rineka Cipta
0 komentar:
Posting Komentar